Rabu, 02 September 2009

Childhood

Memang sungguh tidak mudah bagiku mengemukakan ide dan pendapat dengan baik kepada siapa pun. Terutama yang menyangkut pribadi dan perasaanku. Mungkin karena dari kecil dalam keluargaku ada semacam keharusan (secara tidak langsung) untuk selalu menyembunyikan perasaan atau tidak membukanya secara blak-blakan, tanpa pertimbangan dan pemikiran yang panjang terlebih dahulu. Ungkapan perasaan yang meledak-ledak, cacian, makian, dan pilihan kata-kata yang menimbulkan nilai rasa yang kurang berkenan terutama di hati orang lain maupun di hati sendiri, harus dapat dihindari.
Sungguh, hal ini belakangan kuartikan sebagai “kursus berpura-pura secara intensif”. Maksudnya, setiap kali aku berada dalam situasi yang mengharuskanku mengungkapkan rasa marah, jengkel, bersalah, gelisah, sedih, atau senang yang meledak-ledak, aku “dipaksa” untuk mau tidak mau harus berpura-pura. Tentu saja supaya orang lain selalu merasa secure dan comfortable bersama aku. Belakangan, aku pun terbentur pada paradoks antara keinginan untuk lebih ekspresif dalam menggali hatiku sendiri atau kewajiban untuk menjaga tatanan sosial yang aku sendiri memainkan peran penting di dalamnya, yang tentu saja harus mengabaikan perasaan bahkan pikiran yang terlampau ekspresif.