Selasa, 22 Desember 2009

Memulai Konflik

Memulai konflik lebih mudah daripada mengakhirinya.Dan ternyata konflik itu menyakitkan. Pemicunya terkadang hanya soal kecil, yg terus menggelinding seperti "snow ball". Semakin lama semakin besar. Bahkan terkadang antara pihak yg berkonflik sebenarnya tdk ada masalah pribadi sedikit pun. Mungkin komunikasi pra-konflik yg salah tempat n salah waktu. Jadi, ketersampaian maksud tidak bakalan nyambung.

Seperti yg terjadi kemarin dengan tetangga sebelah rumah. Saya tidak nyaman dengan suara CD yg diputar mulai jam 5.30 pagi sampai tengah hari. Iya gak masalah qlo pakai headset. Tapi suaranya kayak mau ada kondangan aja. Mana anak saya sedang sakit. Belum lagi saya mau konsen kerjain nilai.

Ini salah satu pemicu konflik. Saya sebut saja : "UNAWERENESS". Ketidakmampuan menyadari keadaan sekitar saat melakukan sesuatu yg menyenangkan diri sendiri. Iya bener, dia senang. Tapi tetangga sekitar pada ngomel. Tanpa disadari, konflik sudah terjadi.

Satu lagi pemicu konflik adalah : "IGNORANCE". Acuh tak acuh. Kadang dalam pertemanan, kita akan betul-betul tau sifat teman kita saat bepergian bersama. Kita akan menjadi paham siapa teman yg layak atau tidak. Hal kecil saja, coba iseng tanyakan kepada teman kita : warna tas kita.Jika dia peduli, pasti dia ingat!

Jadi ketika seseorang sudah tdk lagi menyadari keberadaan orang lain di sekitarnya dan tidak peduli bagaimana keadaan dan perasaannya, berarti dia sudah memulai KONFLIK. The Girl with the Dragon Tattoo

Jumat, 20 November 2009

I. Rumput, Pohon, dan Pekarangan

Boleh dibilang, rumah kami dulu ibarat hutan. Waktu aku masih kecil, sekitar 25 tahun yang lalu, halaman depan, samping kiri kanan dan belakang rumah kami dipenuhi pohon-pohon. Mulai dari bunga-bungaan, tanaman rempah dan obat-obatan, sampai pohon-pohon buah seperti mangga, jambu dan sirsak.
Kalau ada sanak keluarga yang hendak mengunjungi kami, sebagai landmark alias penanda rumah kami adalah pohon mangga besar di halaman depan. Memang demikianlah adanya, karena besarnya pohon mangga itu sampai menutupi ……
Bukan apa-apa, Bahkan, maksud kedatangan para famili dan kerabat itu justru karena pohon mangga itu.
Pohon mangga itu nama daerahnya adalah mangga kanrejawa atau dalam bahasa Indonesia-nya mangga kue. Kanrejawa adalah bahasa Makassar yang artinya kue. Walaupun jika diartikan masing-masing kata penyusunnya kanre dan jawa artinya sangat berbeda. Kanre berarti nasi atau bisa juga diartikan makanan. Sedangkan jawa adalah daerah jawa atau yang berasal dari jawa. Jadinya akan lucu yakni makanan jawa atau makanan yang berasal dari jawa. Padahal orang Makassar punya kue-kue khas sendiri. Begitu juga dengan orang jawa.
Mangga kanrejawa di halaman depan rumahku itu konon sudah ada sejak orangtuaku membeli tanah yang kami tempati hingga kini. Menurut si empunya tanah, pohon mangga itu dulunya ditanam oleh kakek dari kakek buyutnya. Sedang ia sendiri sudah punya cicit yang seumur dengan kakak tertuaku yang beda umurnya kurang lebih lebih 10 tahun denganku. Tidak heran pohon mangga itu ukuran batangnya sampai tiga pelukan orang dewasa karena umurnya sudah sangat tua.
Tidak salah jika pohon mangga itu dikatakan besar. Besar menurut orang-orang bukan hanya karena ukuran batangnya tetapi juga karena tinggi dan banyaknya jumlah cabang pohon mangga itu. Karena tingginya pohon mangga kami itu, pucuk paling ujungnya lebih tinggi daripada rumah tetangga kami yang bertingkat tiga.
Soal buahnya jangan ditanya. Setiap tahun bisa berbuah dua sampai tiga kali. Produksinya bisa sampai berkarung-karung. Selama sebulan hampir tiap hari sanak famili, kerabat, kawan kantor Bapak, teman-teman Kak Heri dan Kak Yi, para tetangga bisa menikmati mangga kanrejawa kami. Mulai dari yang mentah untuk lalapan, mangga mengkal atau setengah matang untuk dirujak, sampai matang pun semuanya boleh dinikmati. Gratis. Dengan syarat: ambil sendiri sebab di rumah kami tidak ada tukang panjat.
Diberi lampu hijau untuk mengambil sebanyak yang diinginkan, tak jarang orang datang berombongan sambil membawa karung.
Buah yang jatuh malam hari bikin rebutan. Lomba-lomba dengar suara gedebug.
Musim hujan identik dengan mangga masak.
Mangga itu juga menmbah pekerjaan tanpa kenal musim. Saat musim hujan tiba buah yang matang berjatuhan. Pohon tidak bisa dipanjat karena batangnya licin. Jadi buah yang kelewat matang dan tidak bisa dimakan karena busuk dibiarkan saja menumpuk di halaman. Jadilah kami sekeluarga kebagian membersihkan mangga-mangga busuk itu.
Kadang juga bukan karena busuk tapi karena matang dan gak jatuh-jatuh, akhirnya jadi makanan codot atau kalong alias kelelawar. Yang dimakan pun hanya separuh. Kalau sudah jatuh, mangga yang tersisa siapa yang mau makan.
Tapi kalau musim kemarau, daunnya meranggas menggugurkan diri. Daun kering yang harus disapu cukup membuat lengan pegal. Terutama kalau ada juga angin kencang.
Kalau kak heri yang ditugasi menyapu halaman pada hari minggu, aku senang karena bisa bermain-main dengan asap. Daun-daun kering dibuat menggunung, lalu disulut tanpa diberi minyak tanah. Asapnya mengepul-ngepul persis seperti kabut di pegunungan. Tinggi hingga tampak akan menggaet awan. Aku senang kalau kak heri yang ditugasi membakar sampah daun mangga itu.
Untuk memanjat pohon mangga itu, orang membutuhkan tangga sebab jarak antara cabang pertamanya dengan tanah kira-kira tiga meter setengah.
Tapi kami tak punya tangga jadi orang biasa memanjat melalui sebatang bamboo yang disandarkan pada pohon mangga itu.
Bagi ingatan seorang anak kecil : ayunan yang digantung pada cabang yang paling besar.
Pohon sirih yang dibuatkan bedengan di sekeliling pohon mangga dengan bambu sebagai bedengan. Tempatnya teduh, dingin, dan bisa sembunyi.



Dulu di belakang rumah ada pohon jeruk nipis yang banyak semutnya. Sayang pohon itu tumbuhnya pas dipinggir selokan jadi gak bisa dipanjat. Sebenarnya masih ada empat pohon besar di halaman belakang rumah kami. Ada mangga tangguni, jambu air, belimbing sayur dan sirsak. Mangga tangguni kalau masih mentah, kecutnya minta ampun. Tapi kalau sudah masak aku dan kakak-kakakku berebutan naik ke atas seng dapur memunguti mangga yang jatuh-jatuh.
Jambu airnya ditanam om ir, adik mama. Jambu itu cangkokakn dari pohon jambu di rumah nenek di kota. Memang jenis jambu ini hanya disukai oleh codot dan burung. Juga semut hitam.
Satu lagi pohon belimbing. Dulu mama suka sekali membuat sambel terasi pakai belimbing itu, sayur asem, ya juga pakai belimbing. Kalau sedang musim buah, belimbingnya berjatuhan.

Rabu, 02 September 2009

Childhood

Memang sungguh tidak mudah bagiku mengemukakan ide dan pendapat dengan baik kepada siapa pun. Terutama yang menyangkut pribadi dan perasaanku. Mungkin karena dari kecil dalam keluargaku ada semacam keharusan (secara tidak langsung) untuk selalu menyembunyikan perasaan atau tidak membukanya secara blak-blakan, tanpa pertimbangan dan pemikiran yang panjang terlebih dahulu. Ungkapan perasaan yang meledak-ledak, cacian, makian, dan pilihan kata-kata yang menimbulkan nilai rasa yang kurang berkenan terutama di hati orang lain maupun di hati sendiri, harus dapat dihindari.
Sungguh, hal ini belakangan kuartikan sebagai “kursus berpura-pura secara intensif”. Maksudnya, setiap kali aku berada dalam situasi yang mengharuskanku mengungkapkan rasa marah, jengkel, bersalah, gelisah, sedih, atau senang yang meledak-ledak, aku “dipaksa” untuk mau tidak mau harus berpura-pura. Tentu saja supaya orang lain selalu merasa secure dan comfortable bersama aku. Belakangan, aku pun terbentur pada paradoks antara keinginan untuk lebih ekspresif dalam menggali hatiku sendiri atau kewajiban untuk menjaga tatanan sosial yang aku sendiri memainkan peran penting di dalamnya, yang tentu saja harus mengabaikan perasaan bahkan pikiran yang terlampau ekspresif.

Kamis, 30 April 2009

37 Jam di Kota X

Kau ajak aku ke kotamu.
Terasa asing. Pilu.
Satu dua sudut tampak ramah
Tulus. Seperti hatimu.
Dalam ketakutanmu ada gelora :
Bayangan kelam dan cinta abadi
“Untuk itu aku disini.”
Di sisimu aku berbaring
Mengusir lara dalam nurani,
Lewatkan sepi.
Hujan pun mulai mengusik keramaian
Namun tenteram.
Mengantar kotamu jauh
Dari tatap. Aku pulang.
Dan sepi bukan lagi milik kita.

Makassar, 7 Mei 00; Minggu 13:00

Andai Kita Masih Sama-sama

Aku tak pernah menang melawanmu
bermain dende dan lompat tali
kita berjalan beriring
ke bukit
tempat menuliskan nama
pada batu-batu dan pohon
di sana cuma ada satu pohon
yang sarat dengan pahatan nama kita.
Ada sumi yang berkulit hitam legam
renir anak menir tak bisa bilang er sejak lahir
wanda si ambon manise
anak kepsek neneng tomboy
saodah dan lahajji buruh pabrik udang
kamal aso serta iping.
pohon itu sudah kesakitan.
Aku juga takut dengan ketinggian
tapi tidak sumi kecil
tidak juga renir generasi kedua
atau wanda cilik yang juga manis
bahkan neneng kecil
saodah dan lahajji kecil
kamal aso serta iping kecil
menang lagi melawan
sari mungilku yang manis
dan lucu,
bermain dende dan lompat tali.

Makassar, 18 Feb 00

Matahari Kesiangan

Matahari kesiangan
Tak satupun makhluk
berani bersiul.
Tidak juga burung bulbul
yang kemarin baru saja
ikut kursus bina vokalia.
Bahkan kembang pukul empat
tidak jadi lembur mengepakkan
kelopak warna warni.
Dibahunya.
Dan kemenangan merebaki
dada kelelawar karena
malam begitu panjang.
Tak mau keluar.

Redup

Bulan itu, kasih.
Sedang purnama.
Indah.
Cemerlang.
Tapi tak mampu sinari hatiku
Yang sedang temaram. Kehilangan cahaya.

Makassar, 17 Jan 01; 10:00

Oportunis

Aku yang salah, bukan kamu
Jadi, aku yang mesti tanggung jawab
Kok, malah kamu yang maju duluan ngaku salah
Aku kan jadi malu
Semua orang kan tahu kalau aku yang salah
Toh, dengan begitu kamu nggak perlu
minta maaf sama mereka
Aku pun tidak butuh pembelaanmu
Dan pembelaanmu itu tampak seperti dibuat-buat
Mereka bisa curiga kalau kamu pura-pura bela aku
Mereka bakal tahu kalau kamu tidak ikhlas
Keikhlasan itu yang menentukan tingkat pembelaanmu
Aku salah, kamu bela dengan mengaku
kamu yang salah
Orang-orang tahu kalau kamu tidak ikhlas
Berarti sekarang mereka betul-betul yakin kalau
Aku betul-betul salah
Wah … mati aku !
Dan itu semua gara-gara kamu
Berarti kamu yang salah telah melibatkan dirimu sendiri
dalam kesalahpahaman ini
Sekarang, aku tak akan membelamu
Karena aku takut kalau mereka tahu kesalahanmu itu
Seperti mereka tahu kesalahanku
Aku tak mau salah lagi
Biar kamu saja !

Makassar, 25 Mei 00; 9:30

Reuni Hujan

Hujan tak mengijinkanmu pergi
Dan ketika itu
Aku duduk disini melepaskan pandang
Menembus tirai-tirai tipis yang basah
Hujan mengantar tidurmu lelap
Dan kesendirianku
Hujan adalah kenangan
Dan ia membiarkanku menempel
Hangat pada tubuhmu
Damai
Hujan hanya hadir
Membangunkan ketakutan
Yang terkubur dalam bayang kelam masa lalu
Dan hujan menenteramkan
Jiwa yang sepi ini
Hujan adalah keteduhan
Dan amuk itu
Menjalari rangka dan darah
Terampas tercerabut oleh hujan
Damai.
Hujan tak lagi disini
Ia pergi tak kembali
Tapi ah…
Hujan tak sepertimu.

April 15th 2002; 10.20am