Boleh dibilang, rumah kami dulu ibarat hutan. Waktu aku masih kecil, sekitar 25 tahun yang lalu, halaman depan, samping kiri kanan dan belakang rumah kami dipenuhi pohon-pohon. Mulai dari bunga-bungaan, tanaman rempah dan obat-obatan, sampai pohon-pohon buah seperti mangga, jambu dan sirsak.
Kalau ada sanak keluarga yang hendak mengunjungi kami, sebagai landmark alias penanda rumah kami adalah pohon mangga besar di halaman depan. Memang demikianlah adanya, karena besarnya pohon mangga itu sampai menutupi ……
Bukan apa-apa, Bahkan, maksud kedatangan para famili dan kerabat itu justru karena pohon mangga itu.
Pohon mangga itu nama daerahnya adalah mangga kanrejawa atau dalam bahasa Indonesia-nya mangga kue. Kanrejawa adalah bahasa Makassar yang artinya kue. Walaupun jika diartikan masing-masing kata penyusunnya kanre dan jawa artinya sangat berbeda. Kanre berarti nasi atau bisa juga diartikan makanan. Sedangkan jawa adalah daerah jawa atau yang berasal dari jawa. Jadinya akan lucu yakni makanan jawa atau makanan yang berasal dari jawa. Padahal orang Makassar punya kue-kue khas sendiri. Begitu juga dengan orang jawa.
Mangga kanrejawa di halaman depan rumahku itu konon sudah ada sejak orangtuaku membeli tanah yang kami tempati hingga kini. Menurut si empunya tanah, pohon mangga itu dulunya ditanam oleh kakek dari kakek buyutnya. Sedang ia sendiri sudah punya cicit yang seumur dengan kakak tertuaku yang beda umurnya kurang lebih lebih 10 tahun denganku. Tidak heran pohon mangga itu ukuran batangnya sampai tiga pelukan orang dewasa karena umurnya sudah sangat tua.
Tidak salah jika pohon mangga itu dikatakan besar. Besar menurut orang-orang bukan hanya karena ukuran batangnya tetapi juga karena tinggi dan banyaknya jumlah cabang pohon mangga itu. Karena tingginya pohon mangga kami itu, pucuk paling ujungnya lebih tinggi daripada rumah tetangga kami yang bertingkat tiga.
Soal buahnya jangan ditanya. Setiap tahun bisa berbuah dua sampai tiga kali. Produksinya bisa sampai berkarung-karung. Selama sebulan hampir tiap hari sanak famili, kerabat, kawan kantor Bapak, teman-teman Kak Heri dan Kak Yi, para tetangga bisa menikmati mangga kanrejawa kami. Mulai dari yang mentah untuk lalapan, mangga mengkal atau setengah matang untuk dirujak, sampai matang pun semuanya boleh dinikmati. Gratis. Dengan syarat: ambil sendiri sebab di rumah kami tidak ada tukang panjat.
Diberi lampu hijau untuk mengambil sebanyak yang diinginkan, tak jarang orang datang berombongan sambil membawa karung.
Buah yang jatuh malam hari bikin rebutan. Lomba-lomba dengar suara gedebug.
Musim hujan identik dengan mangga masak.
Mangga itu juga menmbah pekerjaan tanpa kenal musim. Saat musim hujan tiba buah yang matang berjatuhan. Pohon tidak bisa dipanjat karena batangnya licin. Jadi buah yang kelewat matang dan tidak bisa dimakan karena busuk dibiarkan saja menumpuk di halaman. Jadilah kami sekeluarga kebagian membersihkan mangga-mangga busuk itu.
Kadang juga bukan karena busuk tapi karena matang dan gak jatuh-jatuh, akhirnya jadi makanan codot atau kalong alias kelelawar. Yang dimakan pun hanya separuh. Kalau sudah jatuh, mangga yang tersisa siapa yang mau makan.
Tapi kalau musim kemarau, daunnya meranggas menggugurkan diri. Daun kering yang harus disapu cukup membuat lengan pegal. Terutama kalau ada juga angin kencang.
Kalau kak heri yang ditugasi menyapu halaman pada hari minggu, aku senang karena bisa bermain-main dengan asap. Daun-daun kering dibuat menggunung, lalu disulut tanpa diberi minyak tanah. Asapnya mengepul-ngepul persis seperti kabut di pegunungan. Tinggi hingga tampak akan menggaet awan. Aku senang kalau kak heri yang ditugasi membakar sampah daun mangga itu.
Untuk memanjat pohon mangga itu, orang membutuhkan tangga sebab jarak antara cabang pertamanya dengan tanah kira-kira tiga meter setengah.
Tapi kami tak punya tangga jadi orang biasa memanjat melalui sebatang bamboo yang disandarkan pada pohon mangga itu.
Bagi ingatan seorang anak kecil : ayunan yang digantung pada cabang yang paling besar.
Pohon sirih yang dibuatkan bedengan di sekeliling pohon mangga dengan bambu sebagai bedengan. Tempatnya teduh, dingin, dan bisa sembunyi.
Dulu di belakang rumah ada pohon jeruk nipis yang banyak semutnya. Sayang pohon itu tumbuhnya pas dipinggir selokan jadi gak bisa dipanjat. Sebenarnya masih ada empat pohon besar di halaman belakang rumah kami. Ada mangga tangguni, jambu air, belimbing sayur dan sirsak. Mangga tangguni kalau masih mentah, kecutnya minta ampun. Tapi kalau sudah masak aku dan kakak-kakakku berebutan naik ke atas seng dapur memunguti mangga yang jatuh-jatuh.
Jambu airnya ditanam om ir, adik mama. Jambu itu cangkokakn dari pohon jambu di rumah nenek di kota. Memang jenis jambu ini hanya disukai oleh codot dan burung. Juga semut hitam.
Satu lagi pohon belimbing. Dulu mama suka sekali membuat sambel terasi pakai belimbing itu, sayur asem, ya juga pakai belimbing. Kalau sedang musim buah, belimbingnya berjatuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar